Dua Aksi Penyelamatan Diri Dari Inflasi: Masuk ke Sektor Riil atau Keluar dari Sistem

Inflasi, atau yang sering kita maknai sebagai “kenaikan harga barang dan jasa”, merupakan suatu hal yang pasti terjadi, tidak terhindarkan, dan tidak dapat dibendung. Lihat saja tren inflasi bulanan Indonesia pada grafik di bawah ini.

Grafik 2.1
Inflasi Bulanan Indonesia
Tahun 2006, 2007, Jan-Mei 2008 (2002 = 100), Juni 2008 – Desember 2013 (2007 = 100),
Januari 2014 – Desember 2018 (2012 = 100), Januari – Desember 2019 (2012 = 100),
dan Januari – Desember 2020 (2018 = 100)

(Sumber Data: Website Badan Pusat Statistik,
https://www.bps.go.id/statictable/2009/06/15/907/indeks-harga-konsumen-dan-inflasi-bulanan-indonesia-2006-2020.html)

Kalau kita perhatikan garis berwarna merah pada grafik di atas, terlihat tren inflasi menurun selama lima tahun terakhir (lihat tanda panah warna oranye), meskipun demikian, bukan berarti harga barang dan jasa juga mengalami penurunan. Grafik tersebut hanya menunjukkan terjadinya perlambatan kenaikan harga. Maksudnya bagaimana?

Begini, untuk memudahkan pemahaman, saya coba membuat garis warna biru sebagai permisalan kenaikan harga barang. Pada awal tahun 2006, harga suatu barang, atau kita sebut saja Barang A, dimisalkan sebesar Rp10,00. Lalu, harga Barang A itu dihitung berdasarkan data inflasi bulanan Indonesia, sehingga diperoleh harga Barang A setiap bulannya. Pada akhir tahun 2020, harga Barang A menjadi sebesar Rp21,09,- Dengan adanya grais biru tersebut, kita bisa lebih memahami bahwa kenaikan harga Barang A terus terjadi.

Ada banyak sekali penyebab terjadinya inflasi di Indonesia, seperti kelangkaan barang dan jasa, peningkatan jumlah permintaan secara agregat, permasalahan jalur distribusi barang dan jasa, pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing, ekspektasi masyarakat terhadap kondisi di masa depan, dan sebagainya. Namun demikian, kita tidak akan membahas seluruh penyebab terjadinya inflasi tersebut. Saya hanya akan coba mengulas salah satunya saja, yaitu peningkatan jumlah permintaan secara agregat.

Pada umumnya, peningkatan jumlah permintaan secara agregat itu terjadi karena adanya peningkatan kemampuan masyarakat untuk melakukan kegiatan konsumsi, para ekonom sering menyebutnya dengan ‘peningkatan daya beli masyarakat’. Ketika daya beli masyarakat itu dieksekusi menjadi suatu kegiatan konsumsi, maka jumlah permintaan akan meningkat. Nah, idealnya, peningkatan jumlah permintaan itu bisa diiringi dengan peningkatan jumlah barang dan jasa di pasar, sehingga masyarakat tidak perlu berebut, dan harga akan tetap stabil. Sayangnya, peningkatan daya beli masyarakat itu sering kali tidak bisa diimbangi dengan peningkatan jumlah barang dan jasa yang ditawarkan di pasar. Akibatnya, kondisi ideal yang diharapkan berdasarkan teori ekonomi itu tidak terjadi, sehingga harga barang dan jasa terus terkerek naik.

Salah satu indikator yang dipercaya dapat merepresentasikan daya beli masyarakat, adalah jumlah uang beredar. Teorinya, ketika jumlah uang beredar di masyarakat cukup banyak, itu tandanya potensi masyarakat untuk membelanjakan uang cukup tinggi (daya beli meningkat). Kok bisa?

Ilustrasi mudahnya seperti ini. Kalau kita memiliki uang tunai di dompet, kita akan lebih terdorong untuk berbelanja. Apalagi sekarang nih, transaksi menggunakan kartu dan mobile banking semakin mudah dilakukan di mana-mana. Selain kemudahan akses itu, keinginan berbelanja akan lebih mudah terpicu jika tidak ada insentif bagi kita untuk menunda konsumsi.

Insentif penundaan konsumsi tersebut biasanya berbentuk pendapatan yang diterima jika uang yang kita miliki tidak digunakan untuk konsumsi, seperti misalnya, uang ditabung atau didepositokan supaya mendapatkan bunga atau imbal hasil, uang ditransaksikan di bursa saham supaya mendapatkan margin, atau uang diinvestasikan ke usaha tertentu untuk mendapatkan dividen. Insentif semacam itu masih dipercaya dapat menahan kegiatan konsumsi. Menahan konsumsi supaya uangnya ‘berkembang’.

Grafik 2.2
Jumlah Uang Beredar Periode tahun 1996 sampai dengan November 2020
(dalam miliar Rupiah)

(Sumber Data: Uang Beredar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya, Bank Indonesia)

Keterangan:

  • Uang Beredar Sempit (M1), terdiri dari uang kertas dan uang logam (uang kartal) di luar Bank Umum dan BPR, dan simpanan giro Rupiah.
  • Uang Beredar Luas (M2), terdiri dari M1, simpanan berjangka (Rupiah dan valuta asing), tabungan (Rupiah dan valuta asing), simpanan giro valuta asing, dan surat berharga selain saham.

Coba kita perhatikan grafik di atas. Jumlah uang beredar tidak pernah mengalami penurunan. Selalu meningkat dari tahun ke tahun. Bayangkan, ketika jumlah uang beredar terus meningkat, artinya daya beli masyarakat juga meningkat, artinya besar kemungkinan bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan konsumsi, artinya permintaan terhadap barang dan jasa akan terus meningkat, dan artinya kenaikan harga atau inflasi tidak akan pernah terhindarkan.

Nah, ketika kita tidak bisa mengendalikan peningkatan daya beli masyarakat secara agregat, dan supaya kita tidak kalah dengan inflasi, berikut saya rekomendasikan dua aksi yang dapat kita lakukan tanpa menimbulkan kerusakan yang lebih besar.

Pertama, masuk ke sektor riil.

Kemarin (27/1), Wall Street digegerkan dengan peningkatan harga saham perusahaan bernama GameStop Corp. yang tiba-tiba melejit hingga 1.914,55% sejak bursa saham New York (NYSE) dibuka awal tahun ini. Pada 4 Januari 2021 (hari pembukaan bursa tahun 2021), harga saham GME (kode saham GameStop Corp.) tercatat hanya sebesar USD 17,25, namun demikian dalam waktu tiga minggu saja, harga saham GME menembus USD 347,51 (per 27 Januari 2021). Padahal, kinerja perusahaan itu tidak bagus-bagus amat, setiap tahunnya catatan penjualan (net sales) mereka terus menurun sehingga membukukan kerugian selama dua tahun terakhir. Kerugian yang dibukukan pada 31 Desember 2018 sebesar USD 673,00 juta, dan sebesar USD 470,90 juta pada 31 Desember 2019. Lalu apa yang membuat harga saham GME bisa meroket?

Grafik 2.3
Pergerakan Harga Saham GameStop Corp. (GME) pada Bursa Saham New York (NYSE)

(Sumber Data: New York Stock Exchange, 28 Januari 2021)

Usut punya usut, rupanya peningkatan harga saham itu hanya merupakan aksi goreng saham para pelaku bursa. Awalnya, seorang penanam modal ventura kenamaan dari Social Capital, Chamath Palihapitiya, mengklaim telah membeli saham GME dalam jumlah yang sangat besar. Hal itu memicu para pembeli saham retail untuk berbondong-bondong ikut membeli saham GME. Ditambah lagi cuwitan Elon Musk (pendiri Tesla) yang melontarkan kata “Gamestonk!!” sembari memberikan tautan ke sub-forum Reddit bernama Wallstreetbets yang membahas seputar jual beli saham NYSE. Forum ini memiliki 3,9 juta lebih anggota dimana GME adalah saham favorit mereka. Para anggota Wallstreetbets itu terus mendorong anggota lain untuk membeli lebih banyak saham GME. Hasilnya, boom!! Harga saham GME meningkat luar biasa. Pemegang saham GME mengklaim dapat meraup keuntungan hingga 8.000%. Luar biasa, ya?!

Lalu, apakah keuntungan finansial yang diperoleh para pemegang saham GME itu juga dirasakan oleh GameStop Corp. selaku perusahaan yang menerbitkan saham itu? Jawabannya, tidak.

Uang yang ditransaksikan di bursa untuk jual beli saham GME, hanya berputar-putar di bursa saja. Sementara GameStop Corp. hanya menjadi penonton, menyaksikan lembaran sahamnya mendadak tervaluasi signifikan. Kondisi GameStop Corp. masih tetap sama, penjualannya masih lesu, dan manajemen masih bersusah payah untuk membalik kondisi rugi menjadi laba lagi. Itulah yang kemudian saya sebut sebagai transaksi tidak riil.

Triliunan dana hanya “mengendap” di bursa, karena para investor dan spekulan saham akan terus mempertahankan uang mereka di sana, tentu alasannya karena dana itu masih akan digunakan untuk transaksi lagi dan pengembangan berikutnya. Mereka akan terus menghimpun keuntungan dari aksi jual beli saham, sementara perusahaan penerbit saham hanya menjadi penonton pergerakan sahamnya itu di bursa.

Kuntungan yang diperoleh para investor dan spekulan, menyebabkan mereka lebih kaya, dan dayabelinya meningkat. Sementara, sektor riil (pelaku usaha/perusahaan) tidak mendapatkan tambahan aliran uang yang bisa digunakan untuk investasi dan modal kerja guna menambah kapasitas jumlah dan efisiensi produksi. Bayangkan, ketika semakin banyak orang melakukan transaksi di bursa (pasar sekunder)! Hal itu akan menyebabkan jumlah uang yang dialirkan kepada sektor riil menjadi kering sehingga menyebabkan kapasitas produksi untuk menyediakan barang dan jasa (supply side) menjadi terbatas. Ekonom menyebut fenomena ini sebagai salah satu “kebocoran ekonomi”.

Oleh sebab itu, untuk melawan inflasi, kita bersama harus bahu membahu turut mendorong penguatan kapasitas sektor riil, antara lain dengan mengalirkan uang yang kita punya kepada sektor riil (investasi), serta tidak melakukan transaksi-transaksi non-riil, apalagi spekulasi. Perilaku memutar uang tanpa memberikan manfaat produktif, sesungguhnya merupakan tindakan yang merusak sistem ekonomi secara keseluruhan. Selain itu, secara langsung kita justru menjadi penyebab semakin miskinnya orang lain.

Kedua, keluar dari sistem.

Selain kita membantu mendorong sektor riil untuk tetap tumbuh agar mampu menyediakan barang dan jasa dalam jumlah yang cukup secara efisien, kita juga perlu mengamankan aset yang kita miliki dari gerogotan inflasi. Jika sebagian besar aset kita saat ini masih berupa uang, maka kita harus siap menghadapi konsekuensi bahwa suatu hari kelak, nilai dari aset kita itu akan terus menurun, dan pada akhirnya tidak dapat mencukupi kebutuhan kita di masa depan.

Ilustrasi mudahnya seperti ini. Saya coba membandingkan harga beras dengan harga emas selama periode tahun 2010 sampai dengan tahun 2021, sebagaimana terlihat pada grafik di bawah ini.

Grafik 2.4
Rata-Rata Harga Beras di Tingkat Perdagangan Besar/Grosir Indonesia (Rupiah/Kg) 2010-2020, dan Harga Emas LM (Rupiah/Gram) 2010-2021

(Sumber Data: Website Badan Pusat Statistik, https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/963, dan Website PT Antam, Tbk, https://www.logammulia.com/id/harga-emas-hari-ini)

Mari kita coba buat hitung-hitungan sederhana.

Berdasarkan data pada grafik di atas, harga beras pada Januari 2010 (rata-rata) sebesar Rp 6.702,- per kilogram, dan harga emas sebesar Rp 403.800,- per gram.

Apabila kita akan membeli beras sebanyak 1.000 kg, maka kita harus menyediakan uang sebesar Rp6.702.000,- atau setara dengan 16,60 gram emas. Selanjutnya, mari kita bandingkan, apa yang akan terjadi jika kita menyimpan uang sebesar Rp6.702.000,- dan emas 16,60 gram, dari Januari 2010 sampai dengan Juli 2020.

Berdasarkan data pada grafik di atas, harga beras pada Juli 2020 (rata-rata) sebesar Rp 12.213,- per kilogram, dan harga emas sebesar Rp 1.028.000,- per gram.

Pada Juli 2020, uang sebesar Rp6.702.000,- yang kita simpan tadi, hanya dapat ditukar dengan beras sebanyak 548,76 kg. Jumlah beras yang kita peroleh lebih sedikit dari jumlah beras yang bisa diperoleh pada Januari 2010 (negatif 45,12%). Di sisi lain, emas sebanyak 16,60 gram yang kita simpan, kini setara dengan Rp17.064.800,- pada Juli 2020. Apabila dibelanjakan beras, maka kita akan memperoleh sebanyak 1.397,26 kg beras, atau lebih banyak 39,73% dari yang kita peroleh pada Januari 2010.

Dari ilustrasi di atas, kita bisa lihat betapa inflasi itu nyata. Ketika kita hanya menyimpan aset kita dalam bentuk uang, maka kita akan mengalami kerugian, dimana tanpa disadari daya beli kita terenggut. Berbeda dengan emas. Dia memiliki sifat untuk menyimpan nilai. Kita bisa lihat, nilai emas secara persisten terus meningkat dan cenderung lebih tinggi dari tingkat inflasi. Emas dapat mempertahankan daya beli kita dalam jangka panjang.

Dulu, emas digunakan sebagai alat tukar dalam bertransaksi. Namun demikian, setelah terjadi beberapa kali perang dunia, emas tidak lagi digunakan sebagai alat tukar karena jumlahnya yang terbatas. Emas beralih fungsi menjadi komoditas investasi. Posisi emas sebagai alat tukar, kemudian digantikan oleh uang kartal yang diterbitkan oleh Bank Sentral dalam bentuk kertas atau logam-logam murah. Yap, emas didepak ke luar sistem.

Oleh sebab itu, guna mempertahankan daya beli jangka panjang, dan apabila kita belum mampu atau belum berani untuk menginvestasikan uang yang kita punya ke sektor riil, maka salah satu aksi penyelamatan diri dari inflasi tanpa menimbulkan kerusakan terhadap sistem ekonomi, konversikan saja uang yang kita punya menjadi emas. Biarkan aset kita itu berada di luar sistem untuk sementara waktu, dan pada saatnya bisa kita gunakan tanpa perlu menderita kerugian karena nilainya tergerus.

Saya berharap, Anda dapat memutuskan strategi untuk melawan inflasi dengan bijak. Pastikan Anda mengeksekusi strategi Anda tanpa membuat orang lain menjadi semakin miskin. Lalu, apabila kedua rekomendasi aksi itu akan Anda eksekusi secara bersama-sama, maka pastikan agar porsi pembagiannya tetap sesuai dengan risk appetite Anda.

Published by caesarprawira

Si Ekonom Amatir

Leave a comment