Bahaya Spekulasi Di Balik Prestasi Cryptocurrency

Mengawali tahun 2021, cryptocurrency kembali menjadi buah bibir para investor dan spekulan di pasar keuangan. Bayangkan saja, nilai tukar Bitcoin (BTC) yang merupakan cryptocurrency pertama di dunia, terhadap Rupiah, menguat hingga 411,59% (year-on-year). Luar biasa bukan?! Dalam waktu satu tahun, nilai 1 BTC yang semula hanya setara dengan Rp112,40 juta pada Januari 2020, bisa meroket menjadi Rp575,03 juta pada awal Januari 2021 ini.

Grafik 1.1
Nilai Tukar 1 Bitcoin terhadap Rupiah

Sumber Data: Morningstar for Currency and Coinbase for Cryptocurrency, 10 Januari 2021

Nilai BTC pada saat pertama kali hadir di pasar, 20 November 2015, tercatat hanya setara dengan Rp4,43 juta. Seiring berjalannya waktu, pelaku pasar keuangan, khususnya mereka yang ada di Indonesia, mulai mengenal BTC dengan lebih baik. Hingga puncaknya pada 15 Desember 2017, nilai 1 BTC melonjak menjadi setara dengan Rp266,61 juta. Jika Anda memiliki 1 BTC sejak tahun 2015, kemungkinan aset Anda sudah meningkat hingga 5.918,28% hanya dalam waktu dua tahun saja.

Pertumbuhan BTC tidak berhenti sampai di situ, pada 8 Januari 2021, nilai 1 BTC setara dengan Rp575,03 juta, atau meningkat hingga 12.880,36% sejak pertama kali beredar di pasar. Ini merupakan rekor baru BTC sepanjang sejarah peredarannya. Lalu pertanyaannya, bagaimana bisa nilai BTC itu melonjak signifikan hingga semahal itu?

Begini, cryptocurrency merupakan suatu instrumen digital yang dirancang untuk dapat dipertukarkan dengan pengaman kriptografi yang kuat guna memastikan keamanan transaksi dan mencegah terjadinya penciptaan unit baru secara tidak terkendali. Cryptocurrency ini bekerja dan dicatat secara terdesentralisasi pada buku besar (ledger) menggunakan tekonologi blockchain, sehingga tidak ada satu otoritas manapun yang dapat menginterupsi, mengintervensi, maupun menghentikan peredaran cryptocurrency tersebut.

Oleh karena sifat cryptocurrency yang independen terhadap intervensi dari luar mekanisme pasar, menyebabkan pergerakan nilai cryptocurrency itu hanya dipengaruhi oleh volume permintaan dan penawaran terhadap cryptocurrency itu sendiri. Jadi, semakin tinggi minat pelaku pasar yang mentransaksikan cryptocurrency, akan menyebabkan nilai dari cryptocurrency itu terkerek naik.

Grafik 1.2
Intensitas Pencarian Topik “Cryptocurrency” dan “Bitcoin” pada Mesin Pencarian Google
Periode 5 Tahun Terakhir

Sumber Data: Google Trends, Cryptocurrency, 3-9 Januari 2021

Salah satu pembuktian sederhana, adalah dengan membandingkan Grafik 1.1 dan Grafik 1.2. Kita dapat melihat adanya korelasi antara kedua grafik di atas. Tren fluktuasi nilai tukar BTC terhadap Rupiah, terlihat sejalan dengan tren intensitas pencarian topik cryptocurrency dan Bitcoin pada mesin pencarian Google. Pada periode akhir tahun 2017 hingga pertengahan tahun 2018, lalu lintas pencarian topik “cryptocurrency” dan “bitcoin” tampak sangat tinggi. Peningkatan minat tersebut kemudian tercermin dalam peningkatan nilai BTC di pasar.

Peningkatan minat pelaku pasar keuangan terhadap cryptocurrency dan BTC di tahun 2017 dan 2018, tentunya tidak muncul secara tiba-tiba. Jika kita putar ingatan kita kembali ke periode itu, kita ketahui bahwa saat itu kondisi perekonomian global sedang diselimuti dengan ketidakpastian akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Kedua Pemimpin negara tersebut kerap melontarkan pernyataan publik yang saling menyerang satu sama lain. Secara formal, mereka kemudian juga saling menciptakan hambatan ekonomi melalui kebijakan masing-masing negara. Hal itu membuat situasi ekonomi global menjadi tidak kondusif. Akibatnya, banyak investor dan negara-negara lain yang menahan diri, dan memasang posisi tunggu (wait and see), sementara spekulan, beralih ke instrumen lain yang dianggap tetap bisa diperdagangkan tanpa terpengaruh ketidakpastian ekonomi global tersebut.

Grafik 1.3
Nilai Tukar Dollar Amerika Serikat (USD) terhadap Yuan Republik Rakyat Tiongkok (CNY)

Sumber Data: Morningstar for Currency and Coinbase for Cryptocurrency, 10 Januari 2021

Pada grafik di atas, dapat kita lihat dampak perang dagang antara Amerika Serikat dan RRT, dimana nilai tukar USD terhadap CNY melemah sejak pertengahan tahun 2017 hingga berlanjut di tahun 2018.

Peningkatan nilai BTC kembali terjadi pada awal tahun 2020 hingga saat ini. Hal itu sejalan juga dengan peningkatan lalu lintas pencarian topik “cryptocurrency” dan “bitcoin” pada mesin pencarian Google di periode yang sama.

Lagi-lagi, peningkatan minat tersebut didorong oleh ketidakpastian kondisi ekonomi, kali ini penyebabnya adalah pandemi COVID-19 yang merebak pada akhir Desember 2019 di Wuhan, RRT.

Dari dua kejadian tersebut di atas, terdapat dua pola yang dapat kita simpulkan di sini:

  1. Terdapat korelasi yang cukup dekat antara peningkatan intensitas pencarian topik “cryptocurrency” dan “bitcoin” pada mesin pencarian Google, dengan peningkatan nilai tukar BTC terhadap Rupiah. Hal itu cukup mengonfirmasi bahwa nilai cryptocurrency hanya dipengaruhi permintaan dan penawaran cryptocurrency itu sendiri. Namun demikian, hipotesa dan kesimpulan ini tentu masih perlu diuji lagi secara statistik.
  2. Perilaku masyarakat yang mengonversi aset miliknya menjadi aset atau bentuk instrumen lain yang dianggap “lebih aman”, merupakan fenomena yang biasa terjadi selama periode ketidakpastian ekonomi (krisis). Masing-masing individu akan secara logis berusaha untuk mencari pelarian dalam rangka mencegah kerugian atau penurunan nilai kekayaan yang mereka miliki. Pada umumnya, aset dan instrumen lain yang dipilih sebagai pelarian, adalah aset atau instrumen yang relatif tidak terpengaruh terhadap gejolak pasar, seperti logam mulia. Saat ini, pelaku pasar keuangan memiliki pilihan instrumen baru, yaitu “cryptocurrency”.

Kita bisa lihat tren harga emas PT Antam, Tbk pada grafik di bawah ini. Sejak tahun 2018, terjadi percepatan peningkatan harga emas. Pada saat itu, para ekonom memprediksikan perang dagang antara Amerika Serikat dan RRT akan menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian secara global. Tekanan ekonomi akan dirasakan oleh banyak negara, utamanya negara berkembang yang terafiliasi secara ekonomi dengan kedua negara tersebut. Peningkatan harga emas semakin cepat terjadi pada akhir tahun 2019, dimana pada saat itu, RRT mengumumkan adanya kasus pertama COVID-19, dan para ekonom memprediksikan kasus di RRT itu akan menjadi pandemi global, dan menimbulkan resesi dunia. Kejadian dan proyeksi seperti itu menyebabkan para pelaku pasar keuangan kabur menyelamatkan diri, salah satunya mengonversi aset mereka menjadi emas.

Grafik 1.4
Grafik Harga Emas PT ANTAM, Tbk
Periode Tahun 2020 sampai dengan Tahun 2021

Sumber Data: Website PT Antam, Tbk (www.logammulia.com/id/harga-emas-hari-ini)

Fenomena yang tejadi dalam ketidakpastian kondisi ekonomi global, dan melonjaknya nilai cryptocurerrency kemudian dimanfaatkan oleh paraspekulan untuk menarik minat masyarakat agar bergabung dalam pesta yang sedang mereka rayakan.

Para penggiat cryptocurrency menjadi makin giat untuk menanamkan pemahaman kepada masyarakat bahwa cryptocurrency ini merupakan instrumen keuangan baru, yang dapat memberikan imbal hasil tinggi. “Ini adalah inovasi instumen investasi paling mutakhir”, begitu kurang lebih pesan yang mereka gaungkan. 

Tapi tahukan Anda, bahwa sebenarnya cryptocurrency itu mengandung risiko yang sangat tinggi dan keberadaannya memiliki dampak negatif yang sangat buruk bagi perekonomian dan kehidupan sosial kita?

Mari kita ulas satu persatu mengenai bahaya spekulasi di balik prestasi cryptocurrency, berikut ini:

Pertama, aspek fundamental nihil.

Sebagaimana telah diruraikan sebelumnya, bahwa pergerakan nilai cryptocurrency hanya dipengaruhi oleh volume permintaan dan penawaran terhadap cryptocurrency itu sendiri. Tidak ada cukup ekosistem di sekitar cryptocurrency yang dapat dianalisis secara fundamental, dan dipelajari sebagai salah satu sarana investasi.

Ketiadaan aspek fundamental itu bagaikan kapal yang mengapung di tengah badai ombak besar tanpa dilengkapi dengan jangkar. Kapal itu akan terombang-ambing tak terkendali. Di sisi lain, tidak ada pihak yang bisa memprediksi dan mengendalikan ombak itu. Hal yang dapat dilakukan hanyalah menunggu sampai dengan kondisi cuaca akan membaik dan gelombang ombak mereda, dan pasrah ketika kapal menjadi karam dan tenggelam.

Dari ilustrasi di atas, ketiadaan aspek fundamental mengkonfirmasi bahwa motif yang dilakukan oleh mereka yang mengonversi asetnya menjadi cryptocurrency, tidak lebih dari hanya sekadar berspekulasi semata. Mereka akan melepaskan cryptocurrency ketika harganya tinggi, dan kembali membeli cryptocurrency ketika harganya rendah. Para spekulan itu hanya bergantung pada “minat” para spekulan lainnya saja. Tanpa adanya minat yang tinggi dan tindakan untuk terus memperdagangkan cryptocurrency, menyebabkan nilai cryptocurrency tersebut akan menjadi stagnan dan tidak lagi dapat menghasilkan keuntungan, sehingga lama kelamaan, instrumen digital itu akan mangkrak selamanya di dalam jaringan blockchain.

Lebih mengerikannya lagi, saat ini sudah ada ratusan merek cryptocurrency yang beredar di dunia digital, tidak hanya BTC. Ke depan, cryptocurrencies itu tentu akan saling bersaing untuk menarik minat para spekulan, agar cryptocurrency tetap berfluktuasi sehingga terus dapat menghasilkan keuntungan ketika diperdagangkan.

Pada saat nilai cryptocurrency sudah terlalu tinggi sehingga menjadi tidak likuid, karena sulit diperdagangkan, hal itu akan menyebabkan minat para spekulan juga bisa hilang. Jika kondisi itu terjadi, para spekulan akan meninggalkan cryptocurrency yang lama dan beralih ke cryptocurrency lain yang sedang berkembang, dan fluktuasinya masih memungkinkan bagi mereka untuk mencetak keuntungan.  Lalu bagaimana dengan nasib cryptocurrency lama yang ditinggalkan? Well, cryptocurrency itu akan mangkrak sebagai instrumen digital yang tidak memiliki nilai di dalam komputer pemegang terakhir.

Kedua, nilai ekonomi semu.

Secara sederhana, cryptocurrency dapat kita sebut sebagai deretan angka-angka rumit yang terproteksi dan bisa dipindahkan dari ledger satu ke ledger lainnya dalam jejaring blockchain. Cryptocurrency itu tentunya tidak akan memiliki nilai ekonomi tertentu jika tidak dapat ditukarkan dengan barang atau jasa yang dapat mendatangkan manfaat bagi pemiliknya.

Saat ini, kita melihat cryptocurrency tampak menguntungkan dan menghasilkan uang yang banyak, sesungguhnya hanya karena masih ada spekulan yang berminat untuk mengonversi uang dan aset riil milik mereka menjadi instrumen digital ini. Akibatnya, pemilik cryptocurrency mendapatkan uang sungguhan, dan spekulan yang menyerahkan uangnya itu mendapatkan unit cryptocurrency.

Kalau kita perhatikan, cryptocurrency belum bisa banyak digunakan untuk bertransaksi secara terbuka di negara ini, seperti misalnya ditukarkan dengan barang-barang kebutuhan pokok atau membeli aset yang lain secara legal. Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan Republik Indonesia, selaku otoritas moneter dan otoritas fiskal, telah menegaskan bahwa peredaran dan penggunaan cryptocurrency sebagai alat pembayaran dilarang di Indonesia. Larangan tersebut mengacu pada Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Selain Indonesia, terdapat beberapa negara lain yang turut melarang peredaran dan penggunaan cryptocurrency dalam system ekonomi dan keuangan mereka. Jika negara-negara yang sudah melarang penggunaan dan peredaran cryptocurrency itu mengajak negara lain untuk turut melarang (melalui forum-forum ekonomi multilateral, misalnya), maka hal itu tentu akan semakin mempersempit ruang peredaran cryptocurrency dalam sistem ekonomi global.

Lalu, siapa yang bisa menjaga dan memastikan eksistensi cryptocurrency, dan mencegahagar tidak semakin banyak negara yang melarang peredarannya? Tentu jawabannya, tidak ada. Kunci eksistensi cryptocurrency hingga saat ini, hanya karena para spekulan masih bersepakat untuk saling bertukar cryptocurrency saja.

Ketiga, risiko transaksi ilegal.

Sering kita dengar jargon bahwa cryptocurrency menjunjug tinggi aspek keterbukaan, karena tercatat di setiap ledger yang terdesentralisasi. Tidak hanya itu, cryptocurrency yang beredar saat ini juga disebut-sebut memiliki kualitas audit-trail yang baik. Siapapun yang tergabung dalam jejaring blockchain akan mampu mentrasir perpindahan cryptocurrency dari ledger satu ke ledger yang lain. Para pemilik ledger tersebut juga diklaim tidak akan sanggup untuk melakukan manipulasi terhadap catatan transaksi yang terjadi.

Uraian penjelasan seperti itulah yang terus digaungkan dan ditanamkan pada pikiran masyarakat kita. Namun demikian, satu hal yang tidak diungkapkan di sana adalah, bahwa siapapun tidak akan sanggup untuk memastikan secara hukum pemilik unit cryptocurrency yang beredar. Catatan transaksi ledger itu hanya memuat informasi unit cryptocurrency, pesan unik transaksi, dan kode unik pengamanan. Perpindahan cryptocurrency mungkin memang bisa dilihat, namun tetap saja kita tidak bisa mengetahui siapa pelaku atau pemilik cryptocurrency di balik transaksi itu.

Nah, kan sama saja seperti kalau kita bertransaksi menggunakan uang tunai? Bahkan jika transaksi secara tunai dilakukan, maka tidak ada yang bisa mengetahui adanya transaksi tunai itu, bukan? Masih mending cryptocurrency dong?!

Hal yang seperti ini perlu diluruskan betul-betul.

Mata uang yang diterbitkan oleh Pemerintah suatu negara, diedarkan oleh otoritas tunggal yang disebut Bank Sentral, di Indonesia kita mengenal Bank Indonesia. Adapun sarana bagi Bank Sentral untuk memindahkan fisik mata uang kepada masyarakat, hanya melalui Bank, yang mana kita ketahui bahwa Bank merupakan satu-satunya industri yang diatur dan diawasi secara ketat oleh banyak otoritas (high regulated industry). Setiap transaksi pada Bank selalu dicatat, pemilik rekening pada Bank juga tercatat dan dapat dipastikan keabsahannya secara hukum, serta Bank dapat menjadi saksi dan pelapor atas setiap transaksi penarikan tunai maupun pemindahan dana. Jadi, tidak mungkin seseorang dapat menciptakan dan mendapatkan mata uang itu tanpa terlebih dahulu berhubungan dengan Bank.

Berbeda dengan penciptaan cryptocurrency yang dapat dilakukan oleh siapa saja, sepanjang mereka telah menginstalasi prosesor penambang cryptocurrency (Mining CPU). Proses penciptaan cryptocurrency juga tidak perlu dikoordinasikan satu sama lain. Jejaring blockchain sudah mengatur algoritma penciptaan cryptocurrency sedemikian rupa, sehingga tidak akan terjadi penciptaan cryptocurrency ganda.

Bayangkan, cryptocurrency dapat tercipta di banyak tempat tanpa terdeteksi. Lalu, dalam peredaran dan proses transaksinyapun, cryptocurrency juga tidak membutuhkan perantara. Kedua pihak yang akan bertransaksi, cukup bertukar pesan transaksi dan public key saja. Tidak ada syarat atau deklarasi apapun yang harus dibuat dalam rangka memastikan maksud dan tujuan pelaksanaan transaksi itu. Di dalam jejaring blockchain, juga tidak ada pihak yang melakukan pengawasan guna menjaga agar transaksi yang terjadi tidak dilakukan untuk kegiatan yang melawan hukum.

Perlindungan kriptografi yang sangat canggih, juga melindungi pemilik unit cryptocurrency agar tidak diketahui identitasnya, dan tidak dikeahui maksud transaksi yang dilakukannya. Hal seperti itu membuka peluang yang sangat besar terjadinya transaksi ilegal dengan menggunakan cryptocurrency, antara lain transaksi pencucian uang, pendanaan teroris, perdagangan narkoba, dan transaksi ilegal lainnya.

 Keempat, potensi ketidakberlanjutan

Dari penjelasan sebelumnya, kita memahami bahwa transaksi cryptocurrency tercatat di seluruh server yang terhubung dengan jejaring blockchain secara terdesentralisasi. Oleh sebab itu, cryptocurrency dilengkapi dengan pengamanan supercanggih dengan bahasa komunikasi unik (kriptografi) guna melindungi identitas pelaku transaksi dan maksud dari transaksi, serta mencegah pencurian oleh pihak yang tidak terlibat dalam transaksi dan tidak berhak. Setiap transaksi cryptocurrency, akan tercatat dengan kode unik yang tidak mungkin sama dengan kode ribuan transaksi lainnya, sehingga mustahil bagi pihak yang tidak terlibat dalam komunikasi transaksi untuk dapat menginterupsi, dan mengambilalih unit cryptocurrency yang bukan haknya.

Secara teknis, unit cryptocurrency tidak akan mungkin dapat dipindahtangankan jika pihak pengirim tidak memiliki dan memasukkan public key dan secret key pada pesan transaksi pengiriman. Di sisi penerima, juga tidak akan dapat menerima unit cryptocurrency yang dikirimkan tersebut jika tidak memiliki dan memasukkan public key yang dikirimkan oleh pengirim unit cryptocurrency.

Tingginya tingkat perlindungan proses transaksi itu, mengharuskan transaksi hanya dilakukan oleh pemilik unit cryptocurrency.

Nah, lalu Bayangkan ketika pemilik cryptocurrency tersebut tiba-tiba tidak dapat mengakses cryptocurrency miliknya, misalnya karena meninggal dunia atau hilang tanpa sempat meninggalkan pesan!

Oleh karena transaksi cryptocurrency ini bersifat tertutup. Hanya dapat dilakukan oleh pemilik dan transaksi dilakukan tanpa perantara, maka nyaris mustahil bagi ahli waris untuk dapat mencairkan cryptocurrency jika tidak mengetahui proses transaksi cryptocurrency, tidak mengetahui bagaimana cara mengkonversi cryptocurrency menjadi uang atau aset riil lainnya, dan/atau tidak mengetagui secret key milik kerabat yang meninggal tersebut (spekulan).

Berbeda dengan uang yang disimpan pada Bank. Meskipun ahli waris tidak mengetahui PIN, username dan sandi rekening kerabat yang meninggal, bahkan meskipun ahli waris tidak mengetahui proses teknis pencairan uang dari rekening kerabat yang meninggal, ahli waris akan mendapatkan bantuan dari Bank, dan mereka tetap dapat mencairkan uang dari rekening pada Bank itu sepanjang ahli waris dapat membuktikan bahwa kerabat yang meinggal itu memiliki simpanan pada bank, dan ahli waris dapat membuktikan bahwa dirinya adalah ahli waris yang sah. Hal itu karena Bank merupakan pihak perantara yang dapat membantu dan menjembatani pencairan dana kepada ahli waris yang berhak.

Tidak hanya itu. Ketiadaan otoritas yang mengatur kelancaran transaksi, dan menjamin nilai ekonomi suatu cryptocurrency, menyebabkan tidak adanya pihak yang dapat memberikan perlindungan ketika terjadi kegagalan proses transaksi cryptocurrency, dan tidak dapat memediasi penyelesaian sengketa atau memproses sanksi hukum apabila terjadi kejahatan dalam jejaring blockchain tersebut.

Kelima, penyebab harga barang dan jasa tidak stabil

Berdasarkan teori ekonomi makro, kita memahami bahwa kenaikan harga barang dan jasa disebabkan oleh peningkatan jumlah uang beredar. Mengapa? Karena dengan semakin banyaknya jumlah uang yang beredar, masyarakat akan cenderung melakukan peningkatan transaksi pembelian. Oleh sebab itu, Pemerintah melalui Bank Indonesia menjaga jumlah uang beredar di masyarakat guna menjaga harga-harga agar tetap stabil. Ketika harga barang dan jasa secara agregat mulai merangkak naik, dan berpotensi tidak terkendali, maka salah satu kebijakan moneter yang akan diambil adalah dengan membatasi jumlah uang beredar melalui peningkatan suku bunga. Begitupun sebaliknya, ketika harga-harga cenderung mengalami penurunan dan berpotensi melemahkan ekonomi nasional, Bank Indonesia akan menurunkan tingkat suku bunga agar jumlah uang yang beredar di masyarakat menjadi lebih banyak. Kebijakan tersebut dapat dilakukan karena masyarakat masih menggunakan mata uang yang diterbitkan oleh Pemerintah dalam bertransaksi, sehingga Pemerintah memiliki ruang kendali untuk mengatur jumlah peredaraannya dalam rangka menjaga harga barang dan jasa tetap stabil dan perekonomian tetap terjaga.

Apabila masyarakat dibiarkan untuk dapat melakukan transaksi dengan menggunakan cryptocurrency, yang mana penciptaan dan peredarannya tidak dapat dikontrol oleh Pemerintah, serta ruang peredaran cryptocurrency itu sangat global, atau tidak terbatas di negara tertentu saja, dapat menimbulkan dampak harga barang dan jasa menjadi tidak stabil. Bagaimana bisa?

  1. Peningkatan permintaan barang dan jasa yang dilakukan dengan menggunakan cryptocurrency sebagai alat pembayarannya, akan mendorong peningkatan harga barang dan jasa tersebut. Adapun peningkatan harga suatu barang dan jasa, dapat menimbulkan efek rambatan terhadap peningkatan harga barang dan jasa lainnya, sehingga harga barang dan jasa akan meningkat secara agregat. Ketika kondisi itu terjadi, Pemerintah tidak dapat membatasi dan menginterupsi peredaran cryptocurrency. Kebijakan moneter dan fiskal, yang merupakan amunisi suatu Pemerintahan, menjadi tidak aplikatif dalam situasi seperti ini.
  2. Peredaran cryptocurrency yang sangat global, dapat menyebabkan adanya penambahan “alat pembayaran” yang dapat masuk tanpa bisa diprediksi dan dikendalikan. Secara tiba-tiba, seseorang di dalam negeri bisa memiliki “alat pembayaran” tambahan karena mendapatkan kiriman cryptocurrency dari luar negeri. Dengan kepemilikan tambahan cryptocurrency tersebut, daya beli orang itu jadi meningkat sehingga ia bisa melakukan belanja ekstra di dalam negeri. Apabila semakin banyak orang yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan tambahan “alat pembayaran” yang tidak diterbitkan oleh Pemerintah negara setempat, maka hal itu akan dapat meningkatkan permintaan barang dan jasa secara agregat yang pada akhirnya dapat membuat harga barang dan jasa bergerak naik.   

Tidak hanya itu, penciptaan dan aktivitas spekulasi cryptocurrency yang tidak didasarkan pada aspek produktif apapun, menjadi penyebab adanya potensi peningkatan kemampuan daya beli masyarakat (demand) yang tidak diiringi dengan peningkatan kapasitas dan jumlah produksi (supply). Ketika peningkatan demand lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan supply, maka dampaknya adalah kelangkaan barang dan jasa yang ditawarkan, sehingga harga barang dan jasa tersebut dapat meningkat, atau menjadi lebih mahal. Bagaimana korelasinya?

Sebagaimana telah kita bahas sebelumnya, bahwa penciptaan cryptocurrency dapat dilakukan oleh siapa saja, sepanjang mereka telah menginstalasi prosesor penambang cryptocurrency (Mining CPU). Dalam proses penciptaan tersebut, tidak ada proses produktif yang dilakukan oleh manusia. Penciptaan cryptocurrency dolakukan oleh mining CPU dengan memecahkan algoritma tertentu pada jejaring blockchain. Keberhasilan penciptaannya tergantung pada kecanggihan mning CPU, antara lain kekuatan daya listrik dan prosesor dari mining CPU itu sendiri.

Berbeda dengan penciptaan mata uang baru oleh Pemerintah, dimana mata uang baru hanya dicetak untuk tujuan mengganti fisik mata uang lama yang sudah rusak, dan untuk tujuan memenuhi kebutuhan masyarakat akibat kegiatan ekonomi yang terjadi. Pemerintah melakukan perhitungan tertentu sebelum mencetak fisik mata uang baru guna menjaga agar jumlah uang baru yang dicetak tersebut tidak menibulkan penambahan unit yang tidak dibutuhkan dalam transaksi ekonomi yang sedang berjalan.

Terkait dengan aktivitas spekulasi, tentu ini sudah jelas, bahwa keuntungan yang diperoleh seseorang karena “memenangkan” transaksi, sesungguhnya hanya merupakan bentuk pemindahan kekayaan dari pihak yang kalah kepada pihak yang menang. Tidak ada proses produktif apapun yang dilakukan. Lebih gawat lagi ketika pihak yang kalah merupakan pihak asing, atau berada di luar negeri, karena hal itu akan menyebabkan adanya pemindahan kekayaan dari luar negeri ke dalam negeri. Di satu sisi, pihak pemenang di dalam negeri itu akan menjadi lebih kaya, dan memiliki kemampuan untuk melakukan daya beli yang lebih banyak, namun di sisi lain, aktivitas produksi di dalam negeri cenderung tetap. Dampaknya tentu dapat kita prediksi, dimana harga barang dan jasa di dalam negeri akan meningkat.

Pesona imbal hasil cryptocurrency yang sangat tinggi, membuat spekulan menyisihkan uang dan aset riil miliknya untuk dikonversi menjadi cryptocurrency dalam jumlah yang lebih banyak lagi. Akhirnya, uang dan aset riil itu akan mengendap dan hanya berputar di ruang yang tidak riil. Hal itu menyebabkan kesempatan bagi sektor produktif untuk mendapatkan tambahan investasi. Fenomena ini biasa disebut “kebocoran” ekonomi. Dampaknya, kapasitas sektor produktif menjadi stagnan dan tidak dapat mengimbangi peningkatan daya beli masyarakat.

Memperhatikan beragam uraian mengenai bahaya spekulasi di balik prestasi cryptocurrency tersebut di atas, seyogyanya kita dapat menghindari godaan untuk mengonversi uang dan aset riil kita menjadi cryptocurrency, dan bersama-sama kita cegah orang-orang disekitar kita untuk menjadi salah satu spekulan cryptocurrency. Kita harus pahami, bahwa lonjakan nilai cryptocurrency yang terjadi beberapa waktu terakhir, tidak akan pernah setimpal dengan besarnya risiko dan kerusakan yang ditimbulkan baik bagi diri kita sendiri, bagi perekonomian, maupun bagi kehidupan sosial di sekitar kita.


Published by caesarprawira

Si Ekonom Amatir

2 thoughts on “Bahaya Spekulasi Di Balik Prestasi Cryptocurrency

Leave a comment